Selasa, 16 Januari 2018

Efek Budaya di Korea terhadap kultur bekerja

Korea : aspek sosial dan budaya
Tradisi Bisnis Korea: KIBUN, INHWA DAN CONFUCIANISM


Belajar dari filosofi orang Korea, kita bisa menemukan banyak hal yang menarik untuk menjalankan bisnis.
Korea adalah salah satu negara yang patut diperhitungkan dalam kancah kejayaan Asia. Bagaimana tidak? Perekonomian pasar bebas Negara Ginseng ini masuk ke dalam peringkat lima besar di seluruh Asia, dan ke-15 yang terbesar di dunia. Tak heran negara ini diperhitungkan sebagai salah satu “Macan Asia”.
Saat ini Korea Selatan diperhitungkan sebagai negara dengan pendapatan ekonomi yang cukup tinggi oleh Bank Dunia dan IMF. Bila kita melihat Seoul sebagai ibukota Korea Selatan, tempat ini sungguh bisa menjadi jantung Korea Selatan dimana gap antara kaum miskin dan kaum kaya tidaklah terlalu besar.
Negara yang merupakan tuan rumah dari beberapa raksasa perusahaan konglomerat seperti LG, Samsung, dan Hyundai ini, mempunyai sistem pendidikan yang sangat kompetitif serta mampu mencetak tenaga kerja yang bermotivasi tinggi, dan mempunyai keahlian yang memadai. Semua ini tentu tidak lepas dari etos, budaya, serta kultur kerja dari para pekerjanya.
Dengan adanya perbedaan kultur atau budaya, kultur bisnis Korea bisa menjadi tantangan tersendiri bagi para pebisnis asing. Banyak perusahaan Korea yang masih dipengaruhi oleh kultur Confucianist yang kental. Perusahaan-perusahaan Korea umumnya mempunyai sistem hirarki yang tinggi dan tersentralisasi dengan beberapa orang “inti”, termasuk para manajer yang bisa membuat keputusan besar. Semua deskripsi kerja, otoritas dan hubungan kerja antara atasan dengan bawahan didasari oleh senioritas.
Para pebisnis yang tidak siap dan tidak berpengalaman dengan Confucianism akan menemukan halangan dalam berbisnis di Korea. Walaupun banyak sekali orang Korea mengenyam pendidikan di Barat, norma-norma sosial Confucianism masih sangat dominan dan terlihat jelas di Korea. Orang-orang asing tidak dituntut untuk mematuhi dan menaati norma-norma sosial Korea sepenuhnya. Namun, mereka bisa lebih dihargai bila mau mencurahkan sedikit perhatian dan tenaga untuk belajar beberapa patah kata kunci dalam bahasa Korea dan mengikuti beberapa norma sosialnya.
Pebisnis Korea berharap para pebisnis bisa menepati janji dan tepat waktu dalam menghadiri rapat atau pertemuan bisnis. Tradisi profesional pertama yang biasa dilakukan antara kedua belah pihak dalam meeting adalah saling bertukar kartu nama. Sangatlah penting untuk membangun kepercayaan juga membina hubungan agar proses dan hubungan bisnis dapat berjalan lancar. Tidak seperti di Barat, proses ini memerlukan waktu dan kesabaran. Orang-orang Korea lebih suka berbisnis dengan orang-orang yang sudah mereka kenal. Dari sudut pandang orang Barat, orang Korea dianggap agak “sensitif”. Mereka sangat tidak suka kehilangan muka dan ditempatkan pada posisi yang sulit di hadapan orang lain.
Meeting pertama biasanya dilakukan untuk membangun kepercayaan terlebih dahulu. Jadi, mereka tidak langsung menuju pada inti persoalan bisnis yang ada. Kita harus berlaku formal dalam meeting sampai saat orang atau perwakilan dari Korea mulai menunjukkan sikap santai. Kesuksesan proses bisnis tergantung juga dari eratnya hubungan sosial. Saling berbagi makan malam bisa menjadi salah satu cara untuk membangun hubungan yang bisa mendorong timbulnya kepercayaan. Para pebisnis Korea biasanya adalah negosiator yang tangguh. Mereka mengagumi perusahaan yang mempunyai perwakilan yang mampu bernegosiasi dengan gigih, tetapi tidak terlalu agresif. Isu-isu yang sensitif umumnya dibicarakan kemudian, biasanya sambil proses bisnis berjalan, khususnya jika menyangkut hal-hal yang rumit atau urusan finansial.
Disarankan untuk bisa diperkenalkan melalui pihak kedua daripada menghubungi langsung atau menghubungi secara acak perusahaan-perusahaan Korea yang ada. Untuk bisa bertemu dengan orang kunci, hampir selalu tergantung pada bagaimana cara perkenalan yang dilakukan. Seorang penengah atau perantara yang credible bisa sangat membantu dalam mendapatkan kepercayaan dari para pebisnis Korea. Apalagi, bila perantara tersebut adalah orang yang dihormati. Mereka biasanya memerlukan waktu untuk membuat keputusan karena seringkali hal ini diambil atas persetujuan kolektif. Waktu yang diperlukan untuk pengambilan keputusan juga terkadang lebih lama dari yang diperkirakan.
Jika dilihat dari segi bahasa, tingkat pemahaman bahasa Inggris orang-orang Korea—yang bisa berbahasa Inggris—ternyata tidak sebagus yang diperkirakan. Persepsi dan pemahaman mereka seringkali jauh meleset dari yang sebenarnya dimaksud oleh orang-orang Barat. Perbedaan kultur seringkali menimbulkan halangan yang cukup besar dalam hal berkomunikasi. Biasanya orang Barat berusaha untuk mengulang atau membuat beberapa repetisi agar maksud mereka bisa ditangkap dengan lebih baik. Selain itu, mereka juga biasa saling bertukar catatan tertulis setelah meeting supaya bisa lebih memahami maksud dari kedua belah pihak.
Di Korea, dokumen-dokumen legal tidaklah terlalu penting jika dibandingkan dengan relationship antarindividu. Mereka bahkan tidak terlalu suka kontrak yang terlalu detail atau rumit. Mereka lebih menyukai kontrak yang cukup fleksibel agar bisa melakukan penyesuaian dengan perubahan kondisi yang mungkin akan terjadi. Dengan demikian, lebih penting untuk membangun hubungan yang didasari atas saling percaya dan saling memberikan benefit daripada membuat kontrak yang panjang atau detail. Bagi orang Korea, yang penting bukanlah “apa” isi kontrak tersebut, melainkan “siapa” yang menandatanganinya, dan “mengapa” kontrak itu dibuat.
Hiburan juga memegang peranan penting di Korea dalam hubungan bisnis. Mereka suka berlomba minum dan saling memberikan hadiah kecil. Kini Golf juga menjadi olahraga favorit dan menjadi bentuk hiburan yang diminati. Melalui aktivitas ini, hubungan bisnis bisa menjadi lebih personal. Pengetahuan mengenai keluarga, status, hobi, ulang tahun, pengalaman, sampai pada filosofi pribadi bisa didapat dari kegiatan hiburan atau olahraga. Bahkan, suatu persetujuan yang informal dari pihak yang sudah saling percaya bisa lebih besar pengaruhnya daripada dokumen perjanjian tertulis.
Konsep serta nilai dari budaya Korea pada dasarnya terdiri atas Kibun, Inhwa dan Confucianism. Kata Kibun sendiri tidak punya terjemahan dalam arti sesungguhnya dalam bahasa Inggris. Tetapi, sebagai konsep yang meresapi setiap aspek dari kehidupan orang Korea, kata tersebut bisa didefinisikan sebagai kebanggaan, paras, mood atau cara pandang. Dalam usaha untuk memelihara Kibun, terutama dalam konteks bisnis, seseorang harus menghormati orang lain dan menghindari segala tindakan yang bisa menyebabkan seseorang kehilangan muka. Di dalam kultur di mana keharmonisan sosial dianggap penting, kemampuan untuk menginterpretasikan pikiran orang lain (sering disebut juga sebagai Nunchi) adalah penting untuk memperlancar urusan bisnis.
Inhwa adalah suatu gambaran dari kepercayaan Confucian. Istilah Inhwa berarti pendekatan Korea kepada keharmonisan. Sebagai suatu masyarakat yang kolektif, pengambilan keputusan secara mufakat sangatlah penting untuk mempertahankan keharmonisan di Korea. Supaya Inhwa bisa berjalan dengan selaras, orang-orang Korea seringkali berusaha menjawab dengan respons yang positif dan enggan untuk menolak secara langsung. Dalam kultur bisnis Korea, hal ini tercermin dalam rasa setia pada perusahaan, kepatuhan, serta perilaku karyawan.
Sedangkan Confucianism merupakan sebuah filosofi yang mampu mempengaruhi begitu banyak orang Korea. Akar budaya Confucianism begitu kuat menancap pada kultur Korea, sehingga meresap ke banyak orang di sana. Filosofi ini membentuk moral, hukum nasional dan gaya hidup secara umum di Korea, mulai dari dalam keluarga sampai pada kehidupan sosial mereka.
Terlepas dari pengaruh negara-negara tetangga, Korea Selatan masih bisa mempertahankan identitas dan ciri khasnya yang jelas dan homogen. Masih terasa juga pengaruh-pengaruh dari kepercayaan-kepercayaan religiusnya. Satu hal lagi, Korea juga mempunyai pemandangan dan landscape yang menakjubkan. Rakyat Korea memegang kebanggaan tinggi akan warisan atau pusaka yang unik, dan juga bahasanya yang terbentuk dari sejarah panjang dan berliku. Sebagai hasilnya, hal tersebut tercermin juga pada kultur dan budaya bekerja atau berbisnisnya.
Perubahan wajah Korea terus berlanjut. Meskipun negara yang dikenal dengan sejarahnya yang cukup pelik ini terbebas dari Jepang pada akhir Perang Dunia kedua, mereka masih harus menghadapi Perang Dingin. Namun, Korea mencetak kemajuan ekonomi yang cukup pesat dan terus berkembang menjadi salah satu yang terbesar di Asia, selain Jepang dan Cina. Peluang bisnis yang berkembang di Korea pun turut meningkatkan minat dan rasa ingin tahu dunia akan pengetahuan kultur serta budayanya.


Korean Wave atau Hallyu Gelombang Korea adalah sebuah istilah yang merujuk pada popularitas budaya pop Korea di luar negeri. Umumnya Hallyu memicu banyak orang-orang di negara tersebut untuk mempelajari Bahasa Korea dan kebudayaan Korea. Genre Korean waveberkisar dari film, drama televisi, dan musik pop (K-pop). Perkembangan yang sangat pesat dialami oleh industri budaya Korea melalui produk tayangan drama televisi, film, dan musik menjadikannya suatu fenomena yang menarik perhatian masyarakat luas sehingga di implementasikan sebagai budaya internasional yang berusaha di ciptakan oleh  korea selatan untuk pelaksanaan soft diplomacy nyayang mampu membangun citra Korea Selatan dan mendukung peningkatan posisi Korea Selatan di forum internasional secara umum. Korea Selatan telah berkembang menjadi salah satu negara paling makmur di Asia yang ditandai dengan perekonomian Korea Selatan kini terbesar ketiga di Asia dan ke-13 di dunia. Hal penunjang kebangkitan ekonomi Korea Selatan tidak lain karena sektor industri teknologi transportasi dan teknologi komunikasi yang juga didukung oleh sektor kebudayaannyamelalui Korean Wave.
Kegemaran akan budaya pop Korea dimulai di Republik Rakyat Cina dan Asia Tenggara mulai akhir 1990-an. Istilah Hallyu diadopsi oleh media Cina setelah album musik pop Korea, HOT, dirilis di Cina. Serial drama TV Korea mulai diputar di Cina dan menyebar ke negara-negara lain seperti Hongkong, Vietnam, Thailand, Indonesia, Filipina, Jepang, Amerika Serikat, Amerika Latin dan Timur Tengah.Pada saat ini, Hallyu diikuti dengan banyaknya perhatian akan produk Korea Selatan, seperti masakan, barang elektronik, musik dan film. Fenomena ini turut mempromosikan Bahasa Korea dan budaya. Korea ke berbagai negara. Pemerintahan korea sendiri sangat mendukung dan memiliki peran dalam mewabahnya hallyu. Dukungan tersebut diwujudkan dengan menghindarkan diri dari gempuran industri entertaiment dari barat. Hal ini menjadikan orang korea sendirilah yang harus menciptakan produk-produk media massanya sendiri. Selain itu dukungan dari pemerintah juga diwujudkan melalui berbagai event seni seperti festival-festival film dan music bertaraf. Internasional.


Dinamika Korea Selatan: Ekonomi, Sosial, dan Politik

Korea Selatan merupakan salah satu negara republik dengan ekonomi tersukses di Asia. Korea Selatan terletak di bagian selatan Semenanjung Korea yang berbatasan langsung dengan Korea Utara, Laut Jepang, dan Laut Kuning. Bagian timur Korea Selatan merupakan pegunungan, sementara bagian barat dan selatan ada banyak pelabuhan di daratan dan lepas pantai. Korea Selatan memiliki penduduk yang homogeny, kecuali ribuan orang China yang tinggal disana dengan jumlah penduduk 49.039.986 jiwa. Berdasarkan survey tahun 2010, penduduk Korea Selatan menganut agama Kristen 31,6%, Buddha 24,2%, dan lainnya 44,2% (Central Intelligence Agency, t.t.). Korea tradisional mendapatkan pengaruh budaya dari China, termasuk karakter tulisan bahasa Korea dan mengadopsi neo-konfusianisme sebagai filosofi dalam pemerintahan (Asia Society, t.t.).
Selama lebih dari empat dekade terakhir, Korea Selatan muncul sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi yang signifikan dengan ekonomi industri dengan teknologi yang tinggi. Pada 1960an, GDP per kapita pada level yang sama dengan negara-negara di Afrika dan Asia. Namun dewasa ini Korea Selatan mampu memajukan ekonominya dan menjadi negara dengan perekonomian tersukses ke-12 di dunia. Kemajuan perekonomian Korea Selatan disebabkan oleh faktor sistem pemerintah dan bisnis, termasuk kredit langsung dan restriksi impor. Pemerintah hanya meningkatkan impor terhadap bahan mentah dan teknologi daripada barang-barang konsumsi, serta menggalakkan tabungan dan investasi daripada konsumsi. Saat terjadi krisis finansial yang parah di Asia pada tahun 1997-1998, Korea Selatan mengadopsi beberapa bentuk reformasi ekonomi, termasuk menjadi lebih terbuka terhadap investasi asing dan impor dari negara lain. Setelah itu Korea Selatan mengalami pertumbuhan ekonomi sekitar 4% per tahun antara tahun 2004 hingga 2007, bahkan pada 2010 Korea Selatan berhasil mencapai pertumbuhan ekonomi hingga 10%. Namun seiring dengan pertubuhan ekonomi, ada permasalahan yang tengah dihadapi Korea Selatan, seperti pertumbuhan penduduk yang cepat, pasar tenaga kerja yang tidak fleksibel, serta ketergantungan terhadap ekspor yang notabene menyumbang sekitar setengah dari total GDP (Central Intelligence Agency, t.t.). Selain faktor kebijakan dan strategi pemerintah, transformasi  yang terjadi di Korea Selatan juga dipengaruhi oleh karakteristik, seperti implementasi model ekonomi berbasis perdagangan bebas, perkembangan struktur ekonomi berbasis jaringan bisnis (chaebols), dan cepatnya penciptaan kapasitas teknologi. Selain itu, adanya pengaruh budaya baik di pemerintah maupun masyarakat yang memiliki peran penting dalam kemajuan Korea Selatan, yakni Konfusianisme.
Selama berabad-abad, Konfusianisme telah menjadi pedoman rakyat Korea Selatan yang penting dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Konsep Konfusianisme adalah harmoni sosial dan ajaran-ajaran moral diserap dalam kehidupan rakyat Korea Selatan dan memiliki peran yang sangat penting dalam mencetak budaya Korea seperti yang terlihat saat ini. Konfusianisme telah mengakar dalam tingkah laku, kebiasaan, hingga pola pikir rakyat Korea Selatan. Ide-ide fundamental tentang moralitas dan hubungan manusia seringkali diasosiasikan dengan konsep konfusianisme. Di Korea, orang-orang tua sangat dihargai, bahkan perbedaan usia diakui. Meskipun memiliki catatan buruk tentang korupsi dan mismanajemen yang sangat parah dalam pemerintah Korea Selatan selama beberapa dekade, namun Korea Selatan mampu memperbaiki dan bangkit kembali (Asia-Pasific Connection, 2008).
Konfusianisme menjadi faktor penting dalam kemajuan perekonomian di Korea Selatan. Di Korea Selatan tejadi asimilasi ajaran Protestanisme dan nilai kapitalisme dengan budaya Konfusianisme yang tegas dan berorientasi pada tujuan, dimana dalam proses asimilasi Konfusianisme sebagai faktor positif yang mengajarkan hierarki, masyarakat harmonis dan berorientasi komunitas. Masuknya Protestanisme di Korea Selatan pada 1884 telah memodifikasi nilai-nilai Konfusianisme tradisional dengan pendidikan modern, dan visi masyarakat Barat dan nilai-nilai Protestan. Tu Wei-ming (1984, dalam Ramirez 2010) mengatakan bahwa modifikasi ini dilakukan untuk membentuk neo-konfusianisme yang berotientasi pada tujuan, gagasan hierarki yang menempatkan para intelektual dan pegawai publik pada puncak hierarki, kemudian di bawahnya ada petani, artisan, dan terakhir pedagang.
Selain itu, Weber (1989, dalam Ramirez 2010) mengatakan bahwa prinsip-prinsip Protestan mengajarkan individualisme, bekerja untuk mengejar kekayaan, standar moral, dan kewajiban religius untuk tiap-tiap individu. Kontras dengan Protestanisme, prinsip-prinsip Konfusianisme menawarkan panduan moral untuk kebaikan masyarakat, agar bisa mencapai masyarakat yang harmonis secara moral, kedisiplinan, edukasi, ikatan keluarga, dan harmoni sosial yang kuat. Pembauran inilah yang menciptakan neo-konfusianisme yang membawa perkembangan dan kemajuan pesat di Korea Selatan dan membuat Korea Selatan menjadi sangat Konfusian daripada negara-negara Asia Timur lainnya. Misalnya yang terjadi di Jepang, dimana dalam etos kerja dan sistem pekerjaan di Jepang sama sekali tidak terpengaruh oleh nilai Konfusianisme, melainkan sistem pekerjaan lah yang menggambarkan Konfusianisme. Kooperasi, konsensus, dan solidaritas sosial juga menjadikan dinamika organisasi di perusahaan Korea Selatan berbeda dengan Jepang, dimana kolektivisme di Jepang tidak sekuat di Korea Selatan, hal ini pula yang membedakan dengan individualisme dan kompetisi di Barat. Selain itu, menurut Kim (1997, dalam Ramirez 2010), pembelajaran Konfusian di Korea Selatan jauh lebih merata daripada di negara-negara Asia Timur lainnya.
Konfusianisme memiliki enam arts of governance: pembetulan, Chung Yung atau Doctrine of the Mean, memerintah dengan kebajikan, instruksi publik, mengembangkan kekayaan nasional, dan pertumbangan opini publik. Pembetulan menjadi panduan moral bagi masyarakat yang berisi norma-norma yang menentukan benar dan salah, atau yang disebut dengan standar. Standar inilah yang digunakan untuk mencapai tujuan kolektif sebagai cara untuk kontrol sosial (Hsu 1975, dalam Ramirez 2010). Berdasarkan ajaran Konfusianisme, faktor yang paling penting dalam konsolidasi negara adalah kesatuan politik untuk memproteksi negara dari ancaman eksternal dan untuk memerintah melalui cara yang efisien dan efektif. Konfusianisme menganggap negara terkonsolidasi ketika negara mencapai sentralisasi otoritas politik yang dipahami sebagai “kekuatan negara” (Hsu 1975, dalam Ramirez 2010). Sehingga jelas bahwa Korea Selatan sebagai contoh dimana kantor pusat pemerintahan mengawasi semua kantor pemerintahan yang berurusan dengan masalah-masalah nasional. Konfusianisme Korea Selatan juga tidak mengenal pemisahan kekuasaan yang menjadi hal esensial dari nilai kapitalis Barat, melainkan struktur pemerintah Konfusian berdasarkan hierarkhi dimana fungsionaris ditempatkan pada otoritas yang lebih tinggi. Bangsa konfusian juga mendukung pemerintahan rakyat untuk rakyat, namun tidak oleh rakyat. Konfusianisme mengenal adanya pola-pola hirarkis dan birokratis, dimana pemerintah lebih kuat daripada masyarakat sipil. Hal inilah yang membedakan Konfusianisme dengan kapitalisme. Bagaimanapun Korea Selatan mengasimilasikan nilai kapitalisme yang telihat dari pola perekonomiannya yang berbasis perdagangan bebas.
Selain maju dalam bidang ekonomi, Korea Selatan juga fokus memajukan negara sebagai negara demokrasi. Selama era Park, terjadi transisi demokratis pada 1987 karena keseimbangan kekuatan antara pemegang bisnis dan politisi membuat korupsi terjadi dan tidak terkendali, sehingga transisi demokrasi mengubah hubungan dasar bisnis dan negara, yang sebelumnya bisnis memiliki pengaruh yang lebih besar dalam keputusan kebijakan. Terlalu fokus pada pilihan kebijakan individual, seperti industrialisasi berorientasi ekspor atau peraturan institusional yang spesifik (birokrasi) sebagai isu yang dipisahkan juga tidak relevan. Baik institusi maupun kebijakan adalah variabel penghalang, dimana hubungan pemerintah-bisnis mempengaruhi berbagai isu. Institusi tidak hanya sekedar organisasi negara, melainkan ditempatkan sebagai pengambil kebijakan perdagangan dan finansial (Kang 2002, 178).
Periode transisi Korea Selatan juga tidak terlepaskan dari terbunuhnya Park yang memerintah negara selama 18 tahun. Peristiwa itu seringkali disebut dengan “Seoul Spring” yang membawa pada keterbukaan politik dan atmosfer politik yang lebih bebas dan pemerintah yang lebih mewakili rakyat (Seth 2011, 412). Kemudian pada tahun 1987 ada pemilihan presiden secara bebas, dimana persaingan para calon presiden, Kim Young Sam dan Kim Dae Jung, membagi oposisi, yakni dari militer dan pekerja konservatif serta rakyat kelas menengah. Namun, peristiwa ini menjadi turning point dalam sejarah Korea Selatan. Terjadi pergeseran politik dari rezim otoritarian menjadi sistem politik yang lebih terbuka. Pengalaman tahun 1960-1961 ketika demokrasi diasosiasikan dengan kekacauan sosial telah hilang, kemudian muncul keinginan untuk mengakhiri rezim yang didominasi oleh militer selama hampir tiga dekade (Seth 2011, 442).
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi demokratisasi di Korea Selatan. Pertama, adanya perubahan sosial dan kultural masyarakat Korea Selatan, termasuk evolusi demokrasi yakni penyebaran idealisme kesetaraan dan meningkatnya mobilitas sosial. Kedua, kontribusi dan pengaruh Amerika Serikat. Budaya Amerika mulai memasuki Korea Selatan, seperti budaya pop – film, musik, dan fashion - termasuk dalam bidang pendidikan dan ide-ide tentang sosial dan politik. Buku-buku cetak Korea mengajarkan tentang prinsip-prinsip tentang hak asasi dan demokrasi yang menempatkan Amerika Serikat sebagai teladan. Ribuan pelajar Korea yang belajar di Amerika Serikat juga kembali dengan impresi terhadap nilai-nilai dan budaya Amerika. Amerika Serikat juga mensponsori program-program pelatihan untuk birokrat, membiayai publikasi seperti Sasanggye, jurnal yang berpengaruh terhadap pemikiran sosial dan politik di Korea Selatan. Amerika Serikat juga memiliki peranan besar dalam pengembangan pendidikan di Korea Selatan dengan memberi pelatihan kepada Kementrian Pendidikan, memasukkan tentang nilai-nilai politik Amerika Serikat dalam program kurikulum dan pelatihan guru. Ketiga, berkembangnya agama Kristen di Korea Selatan yang mengajarkan pluralisme sosial dan menyediakan basis institusi untuk oposisi politik. Misi Kristen merupakan hal penting dalam penyebaran ide-ide baru dan orang-orang Kristen aktif dalam gerakan nasionalis pra-1945.
Dari penjabaran diatas dapat disimpulkan bahwa kemajuan Korea Selatan tidak terlepas dari nilai-nilai Konfusianisme yang dianutnya. Korea Selatan juga menjadi negara yang paling konfusian daripada negara-negara Asia timur lainnya karena adanya asimilasi ajaran Protestan dan nilai-nilai kapitalisme yang membawa kemajuan Korea Selatan. Selain kemajuan ekonomi, Korea Selatan juga sukses dalam memajukan demokrasi di negaranya. Pada tahun 1987 terjadi “Seoul Spring”, yakni transisi demokrasi dari pemerintahan yang otoriter dan didominasi militer menjadi pemerintahan yang lebih terbuka dan demokratis. Hal ini membuktikan bahwa perbaikan dan progres yang signifikan Korea Selatan di bidang ekonomi, sosial, dan politik membawa pada kemajuan Korea Selatan seperti yang telihat dewasa ini.

Referensi :
  • Asia Pasific-Connections. 2008. “Korean Confucianism” [online]. dalam http://www.asia-pacific-connections.com/confucianism.html [diakses pada 9 januari 2018].
  • Asia Society. t.t. “Korean History and Political Geography” [online]. dalam http://asiasociety.org/korean-history-and-political-geography. [diakses pada 11 januari 2018].
  • Central Intelligence Agency. t.t. “The World Factbook: South Korea” [online]. dalam https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/ks.html [diakses pada 9 januari 2018].
  • Kang, David C. 2002. “Bad Loans to Good Friends: Money Politics and the Developmental State in South Korea”. International Organization. Vol 56, no. 1, pp. 177-207.
  • Ramirez, Luis Felipe. 2010. “Culture, Government and Development in South Korea” [pdf]. dalam www.ccsenet.org/journal/index.php/ach/article/download/4334/4060 [diakses pada 9 januari 2018].
  • Seth, Michael J. 2011. “A History of Korea From Antiquity to the Present”. United Kingdom: Rowman & Littlefield Publishers, Inc.
  • Korea "aspek sodial dan budaya" dalam https://id.scribd.com/document/344006879/Korea [diakses pada 9 januari 2018]