Korea : aspek sosial dan budaya
Tradisi Bisnis Korea: KIBUN, INHWA DAN
CONFUCIANISM
Belajar dari filosofi orang Korea, kita bisa menemukan banyak hal yang
menarik untuk menjalankan bisnis.
Korea adalah salah satu negara yang patut diperhitungkan dalam kancah
kejayaan Asia. Bagaimana tidak? Perekonomian pasar bebas Negara Ginseng ini
masuk ke dalam peringkat lima besar di seluruh Asia, dan ke-15 yang terbesar di
dunia. Tak heran negara ini diperhitungkan sebagai salah satu “Macan Asia”.
Saat ini Korea Selatan diperhitungkan sebagai negara dengan pendapatan
ekonomi yang cukup tinggi oleh Bank Dunia dan IMF. Bila kita melihat Seoul
sebagai ibukota Korea Selatan, tempat ini sungguh bisa menjadi jantung Korea
Selatan dimana gap antara kaum miskin dan kaum kaya tidaklah terlalu besar.
Negara yang merupakan tuan rumah dari beberapa raksasa perusahaan
konglomerat seperti LG, Samsung, dan Hyundai ini, mempunyai sistem pendidikan
yang sangat kompetitif serta mampu mencetak tenaga kerja yang bermotivasi
tinggi, dan mempunyai keahlian yang memadai. Semua ini tentu tidak lepas dari
etos, budaya, serta kultur kerja dari para pekerjanya.
Dengan adanya perbedaan kultur atau budaya, kultur bisnis Korea bisa
menjadi tantangan tersendiri bagi para pebisnis asing. Banyak perusahaan Korea
yang masih dipengaruhi oleh kultur Confucianist yang kental.
Perusahaan-perusahaan Korea umumnya mempunyai sistem hirarki yang tinggi dan
tersentralisasi dengan beberapa orang “inti”, termasuk para manajer yang bisa
membuat keputusan besar. Semua deskripsi kerja, otoritas dan hubungan kerja
antara atasan dengan bawahan didasari oleh senioritas.
Para pebisnis yang tidak siap dan tidak berpengalaman dengan Confucianism
akan menemukan halangan dalam berbisnis di Korea. Walaupun banyak sekali orang
Korea mengenyam pendidikan di Barat, norma-norma sosial Confucianism masih
sangat dominan dan terlihat jelas di Korea. Orang-orang asing tidak dituntut
untuk mematuhi dan menaati norma-norma sosial Korea sepenuhnya. Namun, mereka
bisa lebih dihargai bila mau mencurahkan sedikit perhatian dan tenaga untuk
belajar beberapa patah kata kunci dalam bahasa Korea dan mengikuti beberapa
norma sosialnya.
Pebisnis Korea berharap para pebisnis bisa menepati janji dan tepat
waktu dalam menghadiri rapat atau pertemuan bisnis. Tradisi profesional pertama
yang biasa dilakukan antara kedua belah pihak dalam meeting adalah saling
bertukar kartu nama. Sangatlah penting untuk membangun kepercayaan juga membina
hubungan agar proses dan hubungan bisnis dapat berjalan lancar. Tidak seperti
di Barat, proses ini memerlukan waktu dan kesabaran. Orang-orang Korea lebih
suka berbisnis dengan orang-orang yang sudah mereka kenal. Dari sudut pandang
orang Barat, orang Korea dianggap agak “sensitif”. Mereka sangat tidak suka
kehilangan muka dan ditempatkan pada posisi yang sulit di hadapan orang lain.
Meeting pertama biasanya dilakukan untuk membangun kepercayaan terlebih
dahulu. Jadi, mereka tidak langsung menuju pada inti persoalan bisnis yang ada.
Kita harus berlaku formal dalam meeting sampai saat orang atau perwakilan dari
Korea mulai menunjukkan sikap santai. Kesuksesan proses bisnis tergantung juga
dari eratnya hubungan sosial. Saling berbagi makan malam bisa menjadi salah
satu cara untuk membangun hubungan yang bisa mendorong timbulnya kepercayaan.
Para pebisnis Korea biasanya adalah negosiator yang tangguh. Mereka mengagumi
perusahaan yang mempunyai perwakilan yang mampu bernegosiasi dengan gigih,
tetapi tidak terlalu agresif. Isu-isu yang sensitif umumnya dibicarakan
kemudian, biasanya sambil proses bisnis berjalan, khususnya jika menyangkut
hal-hal yang rumit atau urusan finansial.
Disarankan untuk bisa diperkenalkan melalui pihak kedua daripada
menghubungi langsung atau menghubungi secara acak perusahaan-perusahaan Korea
yang ada. Untuk bisa bertemu dengan orang kunci, hampir selalu tergantung pada
bagaimana cara perkenalan yang dilakukan. Seorang penengah atau perantara yang
credible bisa sangat membantu dalam mendapatkan kepercayaan dari para pebisnis
Korea. Apalagi, bila perantara tersebut adalah orang yang dihormati. Mereka
biasanya memerlukan waktu untuk membuat keputusan karena seringkali hal ini
diambil atas persetujuan kolektif. Waktu yang diperlukan untuk pengambilan
keputusan juga terkadang lebih lama dari yang diperkirakan.
Jika dilihat dari segi bahasa, tingkat pemahaman bahasa Inggris
orang-orang Korea—yang bisa berbahasa Inggris—ternyata tidak sebagus yang
diperkirakan. Persepsi dan pemahaman mereka seringkali jauh meleset dari yang
sebenarnya dimaksud oleh orang-orang Barat. Perbedaan kultur seringkali
menimbulkan halangan yang cukup besar dalam hal berkomunikasi. Biasanya orang
Barat berusaha untuk mengulang atau membuat beberapa repetisi agar maksud
mereka bisa ditangkap dengan lebih baik. Selain itu, mereka juga biasa saling
bertukar catatan tertulis setelah meeting supaya bisa lebih memahami maksud
dari kedua belah pihak.
Di Korea, dokumen-dokumen legal tidaklah terlalu penting jika
dibandingkan dengan relationship antarindividu. Mereka bahkan tidak terlalu
suka kontrak yang terlalu detail atau rumit. Mereka lebih menyukai kontrak yang
cukup fleksibel agar bisa melakukan penyesuaian dengan perubahan kondisi yang
mungkin akan terjadi. Dengan demikian, lebih penting untuk membangun hubungan
yang didasari atas saling percaya dan saling memberikan benefit daripada
membuat kontrak yang panjang atau detail. Bagi orang Korea, yang penting
bukanlah “apa” isi kontrak tersebut, melainkan “siapa” yang menandatanganinya,
dan “mengapa” kontrak itu dibuat.
Hiburan juga memegang peranan penting di Korea dalam hubungan bisnis.
Mereka suka berlomba minum dan saling memberikan hadiah kecil. Kini Golf juga
menjadi olahraga favorit dan menjadi bentuk hiburan yang diminati. Melalui
aktivitas ini, hubungan bisnis bisa menjadi lebih personal. Pengetahuan
mengenai keluarga, status, hobi, ulang tahun, pengalaman, sampai pada filosofi
pribadi bisa didapat dari kegiatan hiburan atau olahraga. Bahkan, suatu persetujuan
yang informal dari pihak yang sudah saling percaya bisa lebih besar pengaruhnya
daripada dokumen perjanjian tertulis.
Konsep serta nilai dari budaya Korea pada dasarnya terdiri atas Kibun,
Inhwa dan Confucianism. Kata Kibun sendiri tidak punya terjemahan dalam arti
sesungguhnya dalam bahasa Inggris. Tetapi, sebagai konsep yang meresapi setiap
aspek dari kehidupan orang Korea, kata tersebut bisa didefinisikan sebagai
kebanggaan, paras, mood atau cara pandang. Dalam usaha untuk memelihara Kibun,
terutama dalam konteks bisnis, seseorang harus menghormati orang lain dan
menghindari segala tindakan yang bisa menyebabkan seseorang kehilangan muka. Di
dalam kultur di mana keharmonisan sosial dianggap penting, kemampuan untuk
menginterpretasikan pikiran orang lain (sering disebut juga sebagai Nunchi)
adalah penting untuk memperlancar urusan bisnis.
Inhwa adalah suatu gambaran dari kepercayaan Confucian. Istilah Inhwa
berarti pendekatan Korea kepada keharmonisan. Sebagai suatu masyarakat yang
kolektif, pengambilan keputusan secara mufakat sangatlah penting untuk
mempertahankan keharmonisan di Korea. Supaya Inhwa bisa berjalan dengan
selaras, orang-orang Korea seringkali berusaha menjawab dengan respons yang
positif dan enggan untuk menolak secara langsung. Dalam kultur bisnis Korea,
hal ini tercermin dalam rasa setia pada perusahaan, kepatuhan, serta perilaku
karyawan.
Sedangkan Confucianism merupakan sebuah filosofi yang mampu mempengaruhi
begitu banyak orang Korea. Akar budaya Confucianism begitu kuat menancap pada
kultur Korea, sehingga meresap ke banyak orang di sana. Filosofi ini membentuk
moral, hukum nasional dan gaya hidup secara umum di Korea, mulai dari dalam
keluarga sampai pada kehidupan sosial mereka.
Terlepas dari pengaruh negara-negara tetangga, Korea Selatan masih bisa
mempertahankan identitas dan ciri khasnya yang jelas dan homogen. Masih terasa
juga pengaruh-pengaruh dari kepercayaan-kepercayaan religiusnya. Satu hal lagi,
Korea juga mempunyai pemandangan dan landscape yang menakjubkan. Rakyat Korea
memegang kebanggaan tinggi akan warisan atau pusaka yang unik, dan juga
bahasanya yang terbentuk dari sejarah panjang dan berliku. Sebagai hasilnya,
hal tersebut tercermin juga pada kultur dan budaya bekerja atau berbisnisnya.
Perubahan wajah Korea terus berlanjut. Meskipun negara yang dikenal
dengan sejarahnya yang cukup pelik ini terbebas dari Jepang pada akhir Perang
Dunia kedua, mereka masih harus menghadapi Perang Dingin. Namun, Korea mencetak
kemajuan ekonomi yang cukup pesat dan terus berkembang menjadi salah satu yang
terbesar di Asia, selain Jepang dan Cina. Peluang bisnis yang berkembang di
Korea pun turut meningkatkan minat dan rasa ingin tahu dunia akan pengetahuan
kultur serta budayanya.
Korean Wave atau Hallyu Gelombang Korea adalah
sebuah istilah yang merujuk pada popularitas budaya pop Korea di luar
negeri. Umumnya Hallyu memicu banyak orang-orang di negara tersebut untuk
mempelajari Bahasa Korea dan kebudayaan Korea. Genre Korean waveberkisar
dari film, drama televisi, dan musik pop (K-pop). Perkembangan yang sangat
pesat dialami oleh industri budaya Korea melalui produk tayangan drama
televisi, film, dan musik menjadikannya suatu fenomena yang menarik perhatian
masyarakat luas sehingga di implementasikan sebagai budaya internasional yang
berusaha di ciptakan oleh korea selatan untuk pelaksanaan soft
diplomacy nyayang mampu membangun citra Korea Selatan dan mendukung
peningkatan posisi Korea Selatan di forum internasional secara umum. Korea
Selatan telah berkembang menjadi salah satu negara paling makmur di Asia yang
ditandai dengan perekonomian Korea Selatan kini terbesar ketiga di Asia dan
ke-13 di dunia. Hal penunjang kebangkitan ekonomi Korea Selatan tidak lain
karena sektor industri teknologi transportasi dan teknologi komunikasi yang
juga didukung oleh sektor kebudayaannyamelalui Korean Wave.
Kegemaran akan budaya pop Korea dimulai di Republik Rakyat Cina dan Asia
Tenggara mulai akhir 1990-an. Istilah Hallyu diadopsi oleh media Cina setelah
album musik pop Korea, HOT, dirilis di Cina. Serial drama TV Korea mulai
diputar di Cina dan menyebar ke negara-negara lain seperti Hongkong, Vietnam,
Thailand, Indonesia, Filipina, Jepang, Amerika Serikat, Amerika Latin dan Timur
Tengah.Pada saat ini, Hallyu diikuti dengan banyaknya perhatian akan produk
Korea Selatan, seperti masakan, barang elektronik, musik dan film. Fenomena ini
turut mempromosikan Bahasa Korea dan budaya. Korea ke berbagai negara.
Pemerintahan korea sendiri sangat mendukung dan memiliki peran dalam mewabahnya
hallyu. Dukungan tersebut diwujudkan dengan menghindarkan diri dari gempuran
industri entertaiment dari barat. Hal ini menjadikan orang korea sendirilah
yang harus menciptakan produk-produk media massanya sendiri. Selain itu
dukungan dari pemerintah juga diwujudkan melalui berbagai event seni seperti
festival-festival film dan music bertaraf. Internasional.
Dinamika Korea Selatan: Ekonomi, Sosial, dan Politik
Korea Selatan merupakan salah satu negara republik dengan ekonomi
tersukses di Asia. Korea Selatan terletak di bagian selatan Semenanjung Korea
yang berbatasan langsung dengan Korea Utara, Laut Jepang, dan Laut Kuning.
Bagian timur Korea Selatan merupakan pegunungan, sementara bagian barat dan
selatan ada banyak pelabuhan di daratan dan lepas pantai. Korea Selatan
memiliki penduduk yang homogeny, kecuali ribuan orang China yang tinggal disana
dengan jumlah penduduk 49.039.986 jiwa. Berdasarkan survey tahun 2010, penduduk
Korea Selatan menganut agama Kristen 31,6%, Buddha 24,2%, dan lainnya 44,2%
(Central Intelligence Agency, t.t.). Korea tradisional mendapatkan pengaruh
budaya dari China, termasuk karakter tulisan bahasa Korea dan mengadopsi
neo-konfusianisme sebagai filosofi dalam pemerintahan (Asia Society, t.t.).
Selama lebih dari empat dekade terakhir, Korea Selatan muncul sebagai
negara dengan pertumbuhan ekonomi yang signifikan dengan ekonomi industri
dengan teknologi yang tinggi. Pada 1960an, GDP per kapita pada level yang sama
dengan negara-negara di Afrika dan Asia. Namun dewasa ini Korea Selatan mampu
memajukan ekonominya dan menjadi negara dengan perekonomian tersukses ke-12 di
dunia. Kemajuan perekonomian Korea Selatan disebabkan oleh faktor sistem
pemerintah dan bisnis, termasuk kredit langsung dan restriksi impor. Pemerintah
hanya meningkatkan impor terhadap bahan mentah dan teknologi daripada
barang-barang konsumsi, serta menggalakkan tabungan dan investasi daripada
konsumsi. Saat terjadi krisis finansial yang parah di Asia pada tahun
1997-1998, Korea Selatan mengadopsi beberapa bentuk reformasi ekonomi, termasuk
menjadi lebih terbuka terhadap investasi asing dan impor dari negara lain.
Setelah itu Korea Selatan mengalami pertumbuhan ekonomi sekitar 4% per tahun
antara tahun 2004 hingga 2007, bahkan pada 2010 Korea Selatan berhasil mencapai
pertumbuhan ekonomi hingga 10%. Namun seiring dengan pertubuhan ekonomi, ada
permasalahan yang tengah dihadapi Korea Selatan, seperti pertumbuhan penduduk
yang cepat, pasar tenaga kerja yang tidak fleksibel, serta ketergantungan
terhadap ekspor yang notabene menyumbang sekitar setengah dari total GDP
(Central Intelligence Agency, t.t.). Selain faktor kebijakan dan strategi
pemerintah, transformasi yang terjadi di Korea Selatan juga dipengaruhi
oleh karakteristik, seperti implementasi model ekonomi berbasis perdagangan
bebas, perkembangan struktur ekonomi berbasis jaringan bisnis (chaebols), dan
cepatnya penciptaan kapasitas teknologi. Selain itu, adanya pengaruh budaya
baik di pemerintah maupun masyarakat yang memiliki peran penting dalam kemajuan
Korea Selatan, yakni Konfusianisme.
Selama berabad-abad, Konfusianisme telah menjadi pedoman rakyat Korea
Selatan yang penting dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Konsep
Konfusianisme adalah harmoni sosial dan ajaran-ajaran moral diserap dalam
kehidupan rakyat Korea Selatan dan memiliki peran yang sangat penting dalam
mencetak budaya Korea seperti yang terlihat saat ini. Konfusianisme telah
mengakar dalam tingkah laku, kebiasaan, hingga pola pikir rakyat Korea Selatan.
Ide-ide fundamental tentang moralitas dan hubungan manusia seringkali
diasosiasikan dengan konsep konfusianisme. Di Korea, orang-orang tua sangat
dihargai, bahkan perbedaan usia diakui. Meskipun memiliki catatan buruk tentang
korupsi dan mismanajemen yang sangat parah dalam pemerintah Korea Selatan
selama beberapa dekade, namun Korea Selatan mampu memperbaiki dan bangkit
kembali (Asia-Pasific Connection, 2008).
Konfusianisme menjadi faktor penting dalam kemajuan perekonomian di
Korea Selatan. Di Korea Selatan tejadi asimilasi ajaran Protestanisme dan nilai
kapitalisme dengan budaya Konfusianisme yang tegas dan berorientasi pada
tujuan, dimana dalam proses asimilasi Konfusianisme sebagai faktor positif yang
mengajarkan hierarki, masyarakat harmonis dan berorientasi komunitas. Masuknya
Protestanisme di Korea Selatan pada 1884 telah memodifikasi nilai-nilai
Konfusianisme tradisional dengan pendidikan modern, dan visi masyarakat Barat
dan nilai-nilai Protestan. Tu Wei-ming (1984, dalam Ramirez 2010) mengatakan
bahwa modifikasi ini dilakukan untuk membentuk neo-konfusianisme yang
berotientasi pada tujuan, gagasan hierarki yang menempatkan para intelektual
dan pegawai publik pada puncak hierarki, kemudian di bawahnya ada petani,
artisan, dan terakhir pedagang.
Selain itu, Weber (1989, dalam Ramirez 2010) mengatakan bahwa
prinsip-prinsip Protestan mengajarkan individualisme, bekerja untuk mengejar
kekayaan, standar moral, dan kewajiban religius untuk tiap-tiap individu.
Kontras dengan Protestanisme, prinsip-prinsip Konfusianisme menawarkan panduan
moral untuk kebaikan masyarakat, agar bisa mencapai masyarakat yang harmonis
secara moral, kedisiplinan, edukasi, ikatan keluarga, dan harmoni sosial yang
kuat. Pembauran inilah yang menciptakan neo-konfusianisme yang membawa
perkembangan dan kemajuan pesat di Korea Selatan dan membuat Korea Selatan
menjadi sangat Konfusian daripada negara-negara Asia Timur lainnya. Misalnya
yang terjadi di Jepang, dimana dalam etos kerja dan sistem pekerjaan di Jepang
sama sekali tidak terpengaruh oleh nilai Konfusianisme, melainkan sistem
pekerjaan lah yang menggambarkan Konfusianisme. Kooperasi, konsensus, dan
solidaritas sosial juga menjadikan dinamika organisasi di perusahaan Korea
Selatan berbeda dengan Jepang, dimana kolektivisme di Jepang tidak sekuat di
Korea Selatan, hal ini pula yang membedakan dengan individualisme dan kompetisi
di Barat. Selain itu, menurut Kim (1997, dalam Ramirez 2010), pembelajaran
Konfusian di Korea Selatan jauh lebih merata daripada di negara-negara Asia
Timur lainnya.
Konfusianisme memiliki enam arts of governance: pembetulan, Chung
Yung atau Doctrine of the Mean, memerintah dengan kebajikan,
instruksi publik, mengembangkan kekayaan nasional, dan pertumbangan opini
publik. Pembetulan menjadi panduan moral bagi masyarakat yang berisi
norma-norma yang menentukan benar dan salah, atau yang disebut dengan standar.
Standar inilah yang digunakan untuk mencapai tujuan kolektif sebagai cara untuk
kontrol sosial (Hsu 1975, dalam Ramirez 2010). Berdasarkan ajaran
Konfusianisme, faktor yang paling penting dalam konsolidasi negara adalah
kesatuan politik untuk memproteksi negara dari ancaman eksternal dan untuk
memerintah melalui cara yang efisien dan efektif. Konfusianisme menganggap
negara terkonsolidasi ketika negara mencapai sentralisasi otoritas politik yang
dipahami sebagai “kekuatan negara” (Hsu 1975, dalam Ramirez 2010). Sehingga
jelas bahwa Korea Selatan sebagai contoh dimana kantor pusat pemerintahan
mengawasi semua kantor pemerintahan yang berurusan dengan masalah-masalah
nasional. Konfusianisme Korea Selatan juga tidak mengenal pemisahan kekuasaan
yang menjadi hal esensial dari nilai kapitalis Barat, melainkan struktur
pemerintah Konfusian berdasarkan hierarkhi dimana fungsionaris ditempatkan pada
otoritas yang lebih tinggi. Bangsa konfusian juga mendukung pemerintahan rakyat
untuk rakyat, namun tidak oleh rakyat. Konfusianisme mengenal adanya pola-pola
hirarkis dan birokratis, dimana pemerintah lebih kuat daripada masyarakat
sipil. Hal inilah yang membedakan Konfusianisme dengan kapitalisme.
Bagaimanapun Korea Selatan mengasimilasikan nilai kapitalisme yang telihat dari
pola perekonomiannya yang berbasis perdagangan bebas.
Selain maju dalam bidang ekonomi, Korea Selatan juga fokus memajukan
negara sebagai negara demokrasi. Selama era Park, terjadi transisi demokratis
pada 1987 karena keseimbangan kekuatan antara pemegang bisnis dan politisi
membuat korupsi terjadi dan tidak terkendali, sehingga transisi demokrasi
mengubah hubungan dasar bisnis dan negara, yang sebelumnya bisnis memiliki
pengaruh yang lebih besar dalam keputusan kebijakan. Terlalu fokus pada pilihan
kebijakan individual, seperti industrialisasi berorientasi ekspor atau
peraturan institusional yang spesifik (birokrasi) sebagai isu yang dipisahkan
juga tidak relevan. Baik institusi maupun kebijakan adalah variabel penghalang,
dimana hubungan pemerintah-bisnis mempengaruhi berbagai isu. Institusi tidak
hanya sekedar organisasi negara, melainkan ditempatkan sebagai pengambil
kebijakan perdagangan dan finansial (Kang 2002, 178).
Periode transisi Korea Selatan juga tidak terlepaskan dari terbunuhnya
Park yang memerintah negara selama 18 tahun. Peristiwa itu seringkali disebut
dengan “Seoul Spring” yang membawa pada keterbukaan politik dan atmosfer
politik yang lebih bebas dan pemerintah yang lebih mewakili rakyat (Seth 2011,
412). Kemudian pada tahun 1987 ada pemilihan presiden secara bebas, dimana
persaingan para calon presiden, Kim Young Sam dan Kim Dae Jung, membagi
oposisi, yakni dari militer dan pekerja konservatif serta rakyat kelas
menengah. Namun, peristiwa ini menjadi turning point dalam sejarah
Korea Selatan. Terjadi pergeseran politik dari rezim otoritarian menjadi sistem
politik yang lebih terbuka. Pengalaman tahun 1960-1961 ketika demokrasi
diasosiasikan dengan kekacauan sosial telah hilang, kemudian muncul keinginan
untuk mengakhiri rezim yang didominasi oleh militer selama hampir tiga dekade
(Seth 2011, 442).
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi demokratisasi di Korea Selatan. Pertama,
adanya perubahan sosial dan kultural masyarakat Korea Selatan, termasuk evolusi
demokrasi yakni penyebaran idealisme kesetaraan dan meningkatnya mobilitas
sosial. Kedua, kontribusi dan pengaruh Amerika Serikat. Budaya Amerika mulai
memasuki Korea Selatan, seperti budaya pop – film, musik, dan fashion -
termasuk dalam bidang pendidikan dan ide-ide tentang sosial dan politik.
Buku-buku cetak Korea mengajarkan tentang prinsip-prinsip tentang hak asasi dan
demokrasi yang menempatkan Amerika Serikat sebagai teladan. Ribuan pelajar
Korea yang belajar di Amerika Serikat juga kembali dengan impresi terhadap
nilai-nilai dan budaya Amerika. Amerika Serikat juga mensponsori
program-program pelatihan untuk birokrat, membiayai publikasi seperti Sasanggye, jurnal
yang berpengaruh terhadap pemikiran sosial dan politik di Korea Selatan.
Amerika Serikat juga memiliki peranan besar dalam pengembangan pendidikan di
Korea Selatan dengan memberi pelatihan kepada Kementrian Pendidikan, memasukkan
tentang nilai-nilai politik Amerika Serikat dalam program kurikulum dan
pelatihan guru. Ketiga, berkembangnya agama Kristen di Korea Selatan yang
mengajarkan pluralisme sosial dan menyediakan basis institusi untuk oposisi
politik. Misi Kristen merupakan hal penting dalam penyebaran ide-ide baru dan
orang-orang Kristen aktif dalam gerakan nasionalis pra-1945.
Dari penjabaran diatas dapat disimpulkan bahwa kemajuan Korea Selatan
tidak terlepas dari nilai-nilai Konfusianisme yang dianutnya. Korea Selatan
juga menjadi negara yang paling konfusian daripada negara-negara Asia timur
lainnya karena adanya asimilasi ajaran Protestan dan nilai-nilai kapitalisme
yang membawa kemajuan Korea Selatan. Selain kemajuan ekonomi, Korea Selatan
juga sukses dalam memajukan demokrasi di negaranya. Pada tahun 1987 terjadi
“Seoul Spring”, yakni transisi demokrasi dari pemerintahan yang otoriter dan
didominasi militer menjadi pemerintahan yang lebih terbuka dan demokratis. Hal
ini membuktikan bahwa perbaikan dan progres yang signifikan Korea Selatan di
bidang ekonomi, sosial, dan politik membawa pada kemajuan Korea Selatan seperti
yang telihat dewasa ini.
Referensi :
- Asia
Pasific-Connections. 2008. “Korean Confucianism” [online]. dalam http://www.asia-pacific-connections.com/confucianism.html [diakses
pada 9 januari 2018].
- Asia Society. t.t.
“Korean History and Political Geography” [online]. dalam http://asiasociety.org/korean-history-and-political-geography.
[diakses pada 11 januari 2018].
- Central Intelligence
Agency. t.t. “The World Factbook: South Korea” [online]. dalam https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/ks.html [diakses
pada 9 januari 2018].
- Kang, David C. 2002.
“Bad Loans to Good Friends: Money Politics and the Developmental State in South
Korea”. International Organization. Vol 56, no. 1, pp. 177-207.
- Ramirez, Luis Felipe.
2010. “Culture, Government and Development in South Korea” [pdf]. dalam www.ccsenet.org/journal/index.php/ach/article/download/4334/4060 [diakses
pada 9 januari 2018].
- Seth, Michael J.
2011. “A History of Korea From Antiquity to the Present”. United Kingdom:
Rowman & Littlefield Publishers, Inc.
- Korea "aspek sodial dan budaya" dalam https://id.scribd.com/document/344006879/Korea [diakses pada 9 januari 2018]